cari

Sunday 11 October 2009

Ulasan kebiasaan makan ibu menyusui

REVIEW

Dalam sebuah artikel berjudul Kebiasaan Makan Ibu Menyusui di Kota Batu (Perkotaan) dan Desa Sukaharja (Pedesaan) di daerah Ciomas, Bogor. Peneliti, yaitu Sri Muljati dan Arnelia mengambil responden ibu-ibu menyusui di dua tempat yaitu Kota Batu, yang mewakili perkotaan, dan Desa Sukaharja, yang mewakili pedesaan. Responden tiap tempat ada 15 orang sehingga total responden ada 30 orang.
Peneliti mengamati kebiasaan makan ibu dan faktor yang mempengaruhinya. Menurut Sanjur (1982) kebiasan makan adalah cara seseorang atau sekelompok orang memilih pangan dan memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, budaya dan sosial. Selain itu, perubahan kebiasaan makan dapat juga dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di sekitar, kemampuan ekonomi dan juga pendidikan yang didapat terutama pendidikan gizi.
Pada artikel ini, peneliti menduga bahwa jika pemilihan makan ibu tidak sesuai dengan norma gizi maka akan memperburuk keadaan ibu dan menurunnya ASI. Penurunan ini akan mengakibatkan bayi kurang konsumsi ASI yang dapat berakibat tidak optimalnya fase pertumbuhan bayi selama menyusui. Faktor utama yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan ibu menyusui di dua tempat tersebut ialah faktor sosial dan budaya.

Faktor social merupakan faktor pengaruh dari orang yang berada di dalam lingkungan social. Pada artikel ini, besarnya peran dukun bayi dalam proses persalinan dan penganjuran makanan tertentu untuk pelancar ASI serta pantangan terhadap makanan tertentu. Dukun bayi menempati kedudukan tertentu dan merupakan bagian dari warga sehingga lebih mudah dipercaya oleh masyarakat. Walaupun Dukun bayi masih menggunakan teknik tradisional. Hal ini mungkin masih berlangsung karena minimnya tenaga kesehatan atau masih belum kenalnya warga dengan tenaga kesehatan modern yang rata-rata warga pendatang.

Bumui pada umumnya konsumsi jamu karena menurut kepercayaan mereka jamu dapat meningkatkan ASI. Dipedesaan, jamu dibuat oleh Dukun bayi. Tetapi, Dukun bayi tidak memiliki standar dalam pembuatan jamu sehingga ramuan jamu tiap dukun tidak persis sama. Tetapi baiknya, bahan yang digunakan yaitu berupa daun babadotan, daun papaya gundul, daun beluntas dan kunyit terbukti dapat meningkatkan ASI. Berbeda dengan Bumui pedesaan, Bumui perkotaan menggunakan jamu kemasan pabrik.

Dukun dan orang tua memberikan pantangan bagi Bumui sebelum bayi berusia 40 hari, yaitu pantang makanan seperti singkong, ubi rambat, papaya matang dan labu kuning karena makanan tersebut dipercaya dapat menyebabkan perut kembung atau perut besar dan sulit kembali seperti keadaan semula. Sebenarnya, perut kembung mungkin disebabkan oleh makanan yang memang membentuk gas di dalam perut seperti ubi rambat. Selain itu, Bumui pantang juga terhadap udang, tongkol, tenggiri dan ikan asin atau cue, ikan basah yang dipercaya dapat menyebabkan gatal-gatal pada tubuh ibu atau keputihan. Padahal makanan tersebut merupakan sumber protein yang baik. Timbulnya gatal hanya terjadi bagi orang tertentu yang memang alergi terhadap jenis makanan tersebut.

Faktor budaya merupakan factor pengaruh berupa kepercayaan dan nilai-nilai. Factor budaya ini sebenarnya juga merupakan bagian dari factor social yang dihasilkan dari interaksi orang per orang di sebuah komunitas. Pada artikel, konsumsi Gahlogor yaitu makanan yang terbuat dari kacang-kacangan dan beras ketan hitam yang sudah disangan merupakan hal-hal yang telah diwariskan secara turun temurun sehingga dipercaya oleh Bumui. Kacang-kacangan ini akan memberikan sumbangan protein nabati yang cukup tinggi. Makanan ini tepat sekali dikonsumsi ibu yang baru melahirkan karena mempunyai manfaat ganda, yaitu selain memperbanyak ASI juga mempercepat pemulihan setelah melahirkan. Kebiasaan konsumsi Galohgor hanya ditemukan di perkotaan Kota Batu. Temuan ini sejalan dengan anjuran WHO, karena menurut WHO setiap ibu menyusui perlu mendapat tambahan protein sebanyak 24 gram/hari.
Factor budaya akibat kepercayaan terlihat jelas pada pembatasan makanan di desa Sukaharja. Pembatasan makanan masih berlanjut hingga bayi berumur 2-3 bulan. Ibu menyusui masih pantang terhadap makanan yang rasanya asam, buah pisang yang sudah matang serta makanan yang dimasak dengan santan. Setelah anak berusia 3 bulan dan menjelang disapih pantang makan masih ada yaitu makanan yang rasanya pedas. Makanan ini dipantang karena dikhawatirkan dapat menyebabkan diare pada anak.

Kebiasaan makan sulit dirubah tetapi masih dapat diubah salah satunya dengan factor pendidikan gizi. Pada artikel di atas, ada dua hal yang dapat dilakukan agar Bumui memiliki kebiasaan makan yang baik selama menyusui sehingga jumlah ASI dan makanan tambahan cukup untuk bayi. Pertama, pelatihan bagi dukun bayi. Pelatihan tentang cara persalinan yang higienis serta intervensi pengetahuan tentang makanan yang baik bagi ibu hamil dan ibu menyusui. Pelatihan ini dilakukan secara berkala karena proses pemberian pengetahuan bagi dukun bayi yang telah ‘berpengalaman’ memerlukan waktu yang lama. Penolakan akan teori/pengetahuan mungkin saja terjadi. Kedua, pendidikan gizi bagi ibu hamil dan ibu menyusui. Pendidikan gizi tentang makanan yang terbukti secara ilmiah meningkatkan ASI serta makanan pendamping ASI yang baik untuk bayi

No comments:

Post a Comment